BALIKPAPANPOS.COM – Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) Whoosh menghadapi berbagai masalah sejak awal pembangunan hingga operasional saat ini. Proyek ini mengalami kendala dalam pembiayaan, penundaan target operasional, dan kerugian yang signifikan bagi BUMN.
Di awal pembangunan, Presiden Jokowi berjanji bahwa proyek kereta cepat tidak akan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melainkan dibiayai oleh konsorsium dan pinjaman dari China. Konsorsium tersebut melibatkan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang terdiri dari BUMN Indonesia dan China.
Namun, pada 2021, Jokowi mengubah kebijakan dan memberikan suntikan dana negara melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 kepada PT Kereta Api Indonesia (KAI), yang terlibat dalam proyek ini.
Selain itu, proyek ini mengalami pembengkakan biaya. Berdasarkan review BPKP pada Maret dan September 2022, biaya proyek melonjak dari US$1,17 miliar menjadi US$1,449 miliar atau Rp21,74 triliun. Masalah konstruksi juga muncul, seperti pilar LRT yang dibangun tanpa izin, mengakibatkan genangan air dan kemacetan di jalan tol.
Saat ini, WIKA, salah satu anggota konsorsium, melaporkan kerugian hingga Rp7,12 triliun pada 2023, akibat beban bunga dan sengketa pembayaran. WIKA mengeluarkan dana Rp6,1 triliun untuk proyek ini, dengan sengketa pembayaran mencapai Rp5,5 triliun.
Proyek Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta juga mengalami pembengkakan biaya dari Rp22,5 triliun menjadi Rp25,3 triliun. Peningkatan biaya disebabkan oleh perubahan jalur, kenaikan harga material, kelangkaan material semikonduktor, inflasi, dan naiknya harga energi.
Pelajaran dari Proyek Kereta Cepat dan MRT
Analis Senior Ronny P. Sasmita menyarankan agar proyek kereta cepat ke depan harus didahului dengan studi kelayakan yang komprehensif, proses transfer teknologi yang jelas, dan diversifikasi sumber teknologi. Kereta cepat Jakarta-Surabaya dinilai lebih feasible daripada Jakarta-Bandung, dan penawaran harus dilakukan terbuka ke negara-negara lain, seperti Jepang.
Ekonom CELIOS, Nailul Huda, menyoroti perlunya evaluasi model kerja sama konsorsium setelah kerugian besar di proyek Whoosh. Pembangunan infrastruktur harus mempertimbangkan dampak ekonomi dan operasional yang berkelanjutan. Huda juga menekankan perlunya mitigasi risiko dan transparansi dalam penggunaan dana APBN.
Secara keseluruhan, proyek Whoosh lebih banyak sorotan dibanding MRT karena janji awal yang tidak dipenuhi dan perbedaan dalam penunjukan negara penyedia teknologi. Sementara MRT sudah melibatkan APBN dan APBD sejak awal, proyek Whoosh menghadapi kritik karena kebijakan yang berubah dan ketergantungan pada China.